Malam itu Saya dan kawan-kawan duduk melingkar bersama dengan seorang guru besar. Bahagianya Saya karena mendapatkan undangan untuk duduk di sana. Karena biasanya Saya hanya cukup dengan mengikuti seminar maupun kajiannya saja, di mana beliau yang menjadi pemateri di situ. Dalam skala yang besar tentu saja.
Tapi malam itu cukup dengan beberapa orang
saja. Maka Saya ikuti ta’lim ini dengan penuh perhatian. Sayup. Hati dan
pikiran Saya tulus mendengarkan taushiyah darinya. Ustadz Solikhin, barangkali
Anda tak asing dengan nama itu. Itulah guru besar yang Saya maksudkan tadi,
beliau pun seorang penulis di mana buku-buku karangannya banyak beredar di
masyarakat luas. Biasanya tentang motivasi Islam.
Banyak kebaikan Saya peroleh dari lingkaran
ta’lim saat itu, dan izinkan Saya untuk menuliskan satu hal saja yang menurut
Saya paling menawan dari semua yang beliau sampaikan. Bahwa sesungguhnya, jelas
Ustadz Solikhin Abu Izzudin, semua hal yang ada di dunia sejatinya hanyalah
fasilitas-fasilitas milik Allah yang dipinjamkan kepada manusia. Maka semua ini
ibarat sebuah gelas bersih yang dipinjamkan oleh seorang kawan.
Karena kita
membutuhkannya. Sudah menjadi kewajiban, nanti jika kita telah selesai memakai
gelas itu, ia harus dikembalikan dalam keadaan seperti semulanya. Bersih, tanpa
noda. Tetapi kita bebas, setelah mendapatkan pinjaman gelas itu akan kita pakai
untuk apa. Untuk minum, untuk makan, untuk hiasan rumah, dan lain sebagainya.
Itu terserah. Kita merdeka menggunakan gelas itu. Yang jelas kembali dalam keadaan
bersih.
Seharusnya kita paham, bahwa sesudah kita
kotori gelas itu, kita perlu sabun dan air untuk membersihkannya. Jadi si
pemilik akan gembira atau minimal tidak marah bersebabkan gelasnya tetap
kembali dalam keadaan besih. Secara tidak langsung, kita sebetulnya sudah
dianggapnya seorang kawan yang amanah, dapat dipercaya.
Maka gelasnya itu no
problem dipinjam. Tetapi jika tidak demikian? Kita kembalikan gelas itu dengan
keadaannya yang masih kotor. Apa yang si pemilik rasakan? Logikanya sih akan ada
rasa marah sekalipun tetap diterima. Karena ia harus membersihkan lagi gelas
kotor itu, padahal kemarin sangat bersih sebelum dipinjamkan.
“Sudah dipinjami
tapi tidak kembali dengan bersih!!” mungkin begitu geramnya dalam hati. Sungguh
begitulah Allah ketika meminjamkan tubuh beserta isinya. Semua itu harus
kembali dengan keadaan yang bersih, karena kita pun dilahirkan juga dalam
keadaan bersih. Bayi. Surga adalah tempat asalnya.
Nah, kita bukankah suka lupa soal hal itu?
Astaghfirullah. Padahal banyak ayat Al-Qur’an berbunyi bahwa Allah lah
sebaik-baik tempat kembali. Kita sering membacanya. Kita sering
mendengarkannya. Maka kelak, barangkali Allah akan merasa terpaksa ketika harus
membersihkan kembali gelas kotor itu, diri kita yang kotor itu. Dahulu bersih
tetapi mengapa kini kotor?
Aduhai, bagi Allah, sabun dan airnya tentunya
terbuat dari air dan api panas neraka. Agar ia kembali bersih, dan bisa segera
ditaruh di tempat semulanya; Surga. Maka seseorang perlu memasuki Neraka dahulu
untuk membersihkan diri. Tapi na’udzubillah, semoga kita tidak merasakan
nerakaNya sedikitpun.
Kemudian ada perkara tentang tingkat
kekotoran manusia yang harus Allah bersihkan. Jika kotorannya sedikit,
membersihkannya pun lebih ringan. Jika kotorannya banyak dan susah dihilangkan,
maka perlu proses pembersihan yang ekstra dan mungkin waktunya jauh lebih lama.
Namun apabila gelas itu kembali dalam keadaan pecah atau rusak? Pastinya
dibuang bukan? Takkan pernah lagi ia ditaruh di tempat semulanya,
selama-lamanya tidak, itulah balasan bagi orang-orang kafir dan mereka yang
menyekutukan Allah.
Yuris Saputra
(pernah dipublish di remajamasjidjogja.wordpress.com)
No comments: