Remaja Masjid

[Remaja Masjid][bsummary]

Review

[Review][twocolumns]

Seperti Saat Pertama


Malam itu Saya dan kawan-kawan duduk melingkar bersama dengan seorang guru besar. Bahagianya Saya karena mendapatkan undangan untuk duduk di sana. Karena biasanya Saya hanya cukup dengan mengikuti seminar maupun kajiannya saja, di mana beliau yang menjadi pemateri di situ. Dalam skala yang besar tentu saja.

Tapi malam itu cukup dengan beberapa orang saja. Maka Saya ikuti ta’lim ini dengan penuh perhatian. Sayup. Hati dan pikiran Saya tulus mendengarkan taushiyah darinya. Ustadz Solikhin, barangkali Anda tak asing dengan nama itu. Itulah guru besar yang Saya maksudkan tadi, beliau pun seorang penulis di mana buku-buku karangannya banyak beredar di masyarakat luas. Biasanya tentang motivasi Islam.

Banyak kebaikan Saya peroleh dari lingkaran ta’lim saat itu, dan izinkan Saya untuk menuliskan satu hal saja yang menurut Saya paling menawan dari semua yang beliau sampaikan. Bahwa sesungguhnya, jelas Ustadz Solikhin Abu Izzudin, semua hal yang ada di dunia sejatinya hanyalah fasilitas-fasilitas milik Allah yang dipinjamkan kepada manusia. Maka semua ini ibarat sebuah gelas bersih yang dipinjamkan oleh seorang kawan.

Karena kita membutuhkannya. Sudah menjadi kewajiban, nanti jika kita telah selesai memakai gelas itu, ia harus dikembalikan dalam keadaan seperti semulanya. Bersih, tanpa noda. Tetapi kita bebas, setelah mendapatkan pinjaman gelas itu akan kita pakai untuk apa. Untuk minum, untuk makan, untuk hiasan rumah, dan lain sebagainya. Itu terserah. Kita merdeka menggunakan gelas itu. Yang jelas kembali dalam keadaan bersih.

Seharusnya kita paham, bahwa sesudah kita kotori gelas itu, kita perlu sabun dan air untuk membersihkannya. Jadi si pemilik akan gembira atau minimal tidak marah bersebabkan gelasnya tetap kembali dalam keadaan besih. Secara tidak langsung, kita sebetulnya sudah dianggapnya seorang kawan yang amanah, dapat dipercaya.

Maka gelasnya itu no problem dipinjam. Tetapi jika tidak demikian? Kita kembalikan gelas itu dengan keadaannya yang masih kotor. Apa yang si pemilik rasakan? Logikanya sih akan ada rasa marah sekalipun tetap diterima. Karena ia harus membersihkan lagi gelas kotor itu, padahal kemarin sangat bersih sebelum dipinjamkan. 

“Sudah dipinjami tapi tidak kembali dengan bersih!!” mungkin begitu geramnya dalam hati. Sungguh begitulah Allah ketika meminjamkan tubuh beserta isinya. Semua itu harus kembali dengan keadaan yang bersih, karena kita pun dilahirkan juga dalam keadaan bersih. Bayi. Surga adalah tempat asalnya.

Nah, kita bukankah suka lupa soal hal itu? Astaghfirullah. Padahal banyak ayat Al-Qur’an berbunyi bahwa Allah lah sebaik-baik tempat kembali. Kita sering membacanya. Kita sering mendengarkannya. Maka kelak, barangkali Allah akan merasa terpaksa ketika harus membersihkan kembali gelas kotor itu, diri kita yang kotor itu. Dahulu bersih tetapi mengapa kini kotor? 

Aduhai, bagi Allah, sabun dan airnya tentunya terbuat dari air dan api panas neraka. Agar ia kembali bersih, dan bisa segera ditaruh di tempat semulanya; Surga. Maka seseorang perlu memasuki Neraka dahulu untuk membersihkan diri. Tapi na’udzubillah, semoga kita tidak merasakan nerakaNya sedikitpun.

Kemudian ada perkara tentang tingkat kekotoran manusia yang harus Allah bersihkan. Jika kotorannya sedikit, membersihkannya pun lebih ringan. Jika kotorannya banyak dan susah dihilangkan, maka perlu proses pembersihan yang ekstra dan mungkin waktunya jauh lebih lama. Namun apabila gelas itu kembali dalam keadaan pecah atau rusak? Pastinya dibuang bukan? Takkan pernah lagi ia ditaruh di tempat semulanya, selama-lamanya tidak, itulah balasan bagi orang-orang kafir dan mereka yang menyekutukan Allah.


Yuris Saputra
(pernah dipublish di remajamasjidjogja.wordpress.com)

No comments:

Artikel Ringan

[Artikel Ringan][bleft]